27.10.08

Good Governance

Wong Dermayu Asli,(CIMANUK).Good Governance telah menjadi ideologi baru negara-negara dan lembaga-lembaga donor internasional dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Istilah good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi obyektif situasi perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia. Ditinjau dari sisi semantik kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR RI dari Fraksi PPP, dalam Catatan tentang Persepsi Masyarakat Mengenai Good Governance di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satupun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut.
Dalam menapaki sejarah hidupnya, Republik Indonesia mengalami dua kali malapetaka nasional. Sejak sebelum Perang Dunia Kedua, bahkan jauh sebelumnya, bangsa Indonesia dan para pemimpinnya mencita-citakan dan memimpikan kemerdekaan sepenuhnya. Tetapi dua kali juga impian itu kandas dan berakhir dengan pemusatan kekuasaan pada satu tangan (executive heavy), dengan kata lain tidak terwujudnya proses check and balance dengan segala dampaknya yang telah menyeret bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman desintegrasi. Realitas historis ini menggiring kita pada wacana bagaimana meminimalisir peran negara (limitation of the state’s roles) yang menurut pandangan Satish Chandra Mishra (2000), adalah persoalan bagaimana melakukan penyesuaian struktural (structural adjusment) dalam bentuk antara lain deregulasi, restrukturisasi perbankan yang mengarah pada aspek economic governance dan ketika program penyesuaian struktural ini tidak berjalan dengan baik, tindakan yang perlu diambil adalah melakukan reformasi politik yang dalam pelaksanaannya menunjuk pada penerapan nilai-nilai non ekonomi yakni transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan atau sering juga disebut governance reform as an instrument of economic recovery in Indonesia.
Selaras dengan pandangan Satish Chandra Mishra, Dadang Solihin (2000) mengemukakan pendapat Rochman Achwan, seorang sosiolog dari UI yang menganalogikan good governance sebagai troika yang ditarik oleh tiga ekor kuda : negara, pasar, dan masyarakat. Dalam pandangan ini, negara memainkan peran yang sangat terbatas dalam pengelolaan ekonomi, dengan kata lain peran institusi negara semakin mengecil. Good governance ini akan tegak jika didukung oleh tiga pilar pasif yakni bersih, transparan, dan bertanggung–gugat dan beberapa pilar aktif/dinamis meliputi responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif. Kedua jenis pilar tersebut, khususnya pilar aktif sangat berkaitan dengan kondisi bebas dari korupsi. Usaha-usaha anti korupsi adalah bersifat dinamis karena dalam jangka panjang akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensional hari ini adalah terjadinya abuse of power yang terwujud dalam bentuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan sudah sedemikian rupa mewabah dalam segala aspek kehidupan. Pelbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan korupsi berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran, mark up yang menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di pasar global (high cost economy), merusakkan tatanan masyarakat dan kehidupan bernegara (Dadang Solihin, Anti Korupsi dan Good Governance: 2000).
Lebih lanjut, menurut Lukman Hakim Saifuddin, masyarakat menilai praktek KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh cabang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini mengarahkan wacana pada bagaimana menggagas reformasi birokrasi pemerintahan (governance reform). Birokrasi pemerintahan itu sendiri terdiri dari tiga unsur utama yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Bila dibandingkan dengan kondisi Orla, birokrasi pemerintahan pada masa Orba relatif lebih baik, misalnya administrasi pemerintahan dan diklat PNS, namun hal-hal tersebut ternyata tidak menghasilkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien yang berorientasi memberikan pelayanan yang terbaik. Berbagai faktor baik internal dan eksternal menjadi penyebab atau memiliki pengaruh terhadap kondisi buruk birokrasi tersebut selama 30 tahun terakhir. Salah satunya adalah intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan. Faktor eksternal, pada masa Orla bercirikan multi loyalitas terhadap parpol/golongan politik sedangkan pada masa Orba bernuansa monoloyalitas pada suatu partai/golongan politik tertentu. Dan saat ini, pada masa reformasi diupayakan netral. Sementara faktor internal adalah kondisi kelembagaan yang tidak efisien dan membengkak tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan, ketatalaksanaan (manajemen) yang kurang berorientasi efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan pencapaian hasil optimal serta SDM yang berkualitas kurang baik dari segi kemampuan maupun perilakunya dan cenderung tidak terdistribusi dengan baik. Faktor-faktor internal dan eksternal ini harus terus menerus diperbaiki agar birokrasi pemerintahan menjadi efisien dan efektif dan mampu memberikan pelayan yang terbaik bagi negara dan masyarakat (Setiabudi : 2000)
Dalam kompilasi tulisan hasil diskusi rutin ini, tersaji pula kaitan antara bagaimana wujud partisipasi publik sebagai salah satu nilai good governance dengan pembiayaan pembangunan khususnya pinjaman luar negeri serta hubungannya dengan desentralisasi. Dalam membahas partisipasi publik, menurut Ikak G. Patriastomo, Staff Biro Analisis Sistem dan Prosedur Pembiayaan Bappenas, perlu dilihat berbagai masalah, pertama, apakah partisipasi masyarakat ini bisa dikembangkan ? Bila tidak atau belum adakah mekanisme yang dapat dikembangkan untuk mewujudkan partisipasi; kedua, apabila partisipasi memang sudah terjadi apakah partisipasi tersebut dapat berlangsung dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan/pengawasan. Ketiga, selain berbeda intensitas dan bentuknya, partisipannya juga berbeda-beda, bisa berupa individu, maupun lembaga swadaya masyarakat, lembaga perwakilan rakyat. Bentuk partisipasi dan siapa partisipan-nya akan menentukan efektifitas partisipasi itu sendiri (Ikak G. Priastomo : 2000).
Selanjutnya menyoal pelbagai permasalahan yang muncul berkaitan dengan pembiayaan pembangunan dan penyusunan APBN, dalam amatan Kennedy Simanjuntak, staf Biro Analisis dan Formulasi Pembiayaan Bappenas, akan menunjuk pada paling tidak satu pertanyaan ihwal akuntabilitas hal ini muncul sebagai akibat konsekuensi mengemukanya partisipasi publik dalam perencanaan dan pembiayaan pembangunan. Akuntabilitas tersebut mencakup empat hal, yaitu : (1) hierarchial accountabiltiy (ketaatan pada perintah atasan); (2) legal accountability (kepatuhan pada hukum dan peraturan) ; (3) political accountability dan (4) professional accountability yang menyangkut code of conduct (Kennedy Simanjuntak : 2000)
Telusuran literatur dan jelajah dinamika wacana yang berkembang dalam diskusi-diskusi rutin yang yang diselenggarakan oleh Sekretariat Pengembangan Public Good Governance akhirnya tiba pada suatu muara kesimpulan bahwa berbicara good governance di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai–nilai (cluster of values) yang nota bene nilai–nilai yang sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia, jadi bukan merupakan barang baru, hanya berbeda dalam hal aksentuasi dan kemasannya saja, sementara substansinya sama. Sekumpulan nilai-nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai-nilai good governance yakni (1) check and balances; (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency; (5) equity; (6) human rights protection; (5) integrity; (6) participation; (7) pluralism; (8) predictability; (10) rule of law; dan (11) transparency.
Jadi, bagaimana kira-kira kondisi dimasa datang? Perlu diingat good governance bukanlah euphoria sesaat, tidak sekonyong-konyong. Kalau ingin ada perbaikan, kita harus terus berperan dalam memperbaiki perilaku dalam berusaha dan dalam mengelola negara ini. Karena perubahan tidak terjadi dalam semalam. Harus ada usaha, komitmen, dan kesungguhan yang terusmenerus dilakukan secara berkelanjutan dan bekerja dengan integritas. Mengapa good governance menjadi begitu penting? Ada beberapa alasan. Belajar dari krisis ekonomi, bad governance menyebabkan beban bagi APBN/APBD, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, tidak cukup mampu untuk menggerakkan roda perekonomian. Daya saing kita juga menjadi sangat lemah, dan tidak cukup mampu menarik investasi. Suburnya praktik KKN juga menghambat pemerataan kesempatan berusaha. Oleh karena itu, kita tidak punya pilihan selain berbisnis dan bekerja dengan mewujudkan lingkungan usaha yang sehat, tanpa korupsi dan tanpa suap. Pasalnya, lingkungan usaha yang sehat dan tingkat aktivitas negara dalam memerangi korupsi masuk dalam 10 indikator utama yang dijadikan pertimbangan bagi investor untuk berinvestasi. Maka, perlu ada consistent law enforcement dan implementasi good governance secara bersama-sama, baik di sektor korporasi maupun di sektor publik. Inti dari berbagai persoalan bangsa yang sesungguhnya tidak kunjung tuntas adalah masalah governance. Jika kita tidak mengobati akar persoalannya, jangan harap kita dapat mengatasinya secara tuntas. Bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi dimasa datang?
Ada beberapa faktor yang bisa menjadi pemicu untuk perbaikan ekonomi. Pertama, hukum. Dengan kerangka hukum yang baik dan memadai untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, didukung penerapan secara konsisten, termasuk sangsi bagi yang melanggar, akan ada dorongan regulasi (regulatory driven) yang memaksa semua pihak untuk patuh (comply). Kedua, ekonomi. Di sini lebih ditekankan kinerja pasar, di mana masyarakat dan investor menilai sebuah perusahaan dari kinerja (performance). Jika ada dorongan pasar (market driven) akan terbentuk sistem di pasar yang secara otomatis memberikan penghargaan dan penilaian yang lebih tinggi pada perusahaan yang terbukti menerapkan GCG dan memiliki kinerja baik. Sistem itu juga menghukum mereka yang tidak baik, terefleksikan pada penurunan harga saham perusahaan, atau penurunan kepercayaan investor dan masyarakat internasional kepada suatu negara. Ketiga, etika. Untuk dorongan etika (ethics driven) dibutuhkan kesadaran dari semua pihak agar berperilaku, berusaha, dan bekerja dengan etika (conformance). Ethics driven dapat diumpamakan sebagai kasta tertinggi, karena penerapan good governance bukan lagi karena ada peraturan yang mengharuskan, atau karena jika tidak dilakukan, kita tidak dianggap sebagai perusahaan atau tempat berusaha yang menarik lagi. Namun, penerapan good governance jika didorong oleh ethics driven, merupakan sesuatu yang diterapkan karena pihak-pihak yang terkait sadar bahwa hal itu memang diperlukan sebagai perwujudan pertanggungjawaban dan amanah. Namun, situasi di Indonesia saat ini belum optimal untuk memungkinkan kondisi tersebut terjadi. Sekadar contoh, kita memiliki banyak sekali BUMN/BUMD yang cukup memiliki dampak terhadap kondisi ekonomi, dan pemerintah sangat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap cara perusahaan dijalankan. Selain itu, terdapat korelasi antara mereka yang memiliki kekuatan politis dan duduk dalam pemerintahan serta birokrasi, dengan mereka yang memiliki kekuatan ekonomis. Umumnya kedua pihak tersebut cenderung untuk mendukung dan membela satu sama lain, khususnya jika ada ancaman terhadap posisi mereka. Pada situasi seperti ini, banyak yang lupa bahwa mereka berada di sana untuk memastikan adanya sistem yang baik yang bertujuan untuk membela kepentingan publik dan mensejahterakan rakyat. Dengan kondisi seperti ini, sepertinya masih sulit untuk bisa menciptakan market driven dan ethics driven yang cukup kuat. Secara umum, tampaknya sektor usaha di Indonesia yang paling concern dalam menerapkan GCG adalah perbankan. Karena BI punya aturan khusus yang mengatur GCG perbankan, dan ada program monitoringnya setiap tahun, serta memberikan sangsi jika ada bank yang tidak mematuhinya. Hasilnya, penerapan GCG di perbankan jauh lebih merata dibandingkan sektor lain. Di sektor lain ada yang memperoleh peringkat cukup tinggi sesuai standar internasional, namun gapnya masih sangat lebar dibanding sesama perusahaan di dalam sektornya masing-masing. Di negara lain yang sudah lebih maju, kita lihat banyak peranan SRO (misal: Bursa Efek), yang mengatur perusahaan publik untuk menjalankan bisnisnya melalui penerapan GCG. Ini sebenarnya bisa jadi contoh untuk Indonesia. Kita mulai dari dorongan regulator, sambil terus mengedukasi pebisnis dan masyarakat, secara bertahap bisa tercipta keseimbangan antara dorongan regulasi, dorongan pasar, dan dorongan etika. Secara makro, yang utama adalah melakukan perbaikan pada sektor pelayanan publik dan investasi melalui penerapan good governance. Pelayanan publik dan investasi saat ini menjadi ranah di mana penyelenggara negara berinteraksi dengan dunia usaha dan masyarakat. Ini berarti, jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya masyarakat luas dapat langsung merasakan manfaatnya. Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance seperti efisien, nondiskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi, dapat dengan mudah dikembangkan parameternya. Penyelenggara negara, termasuk lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dalam menerapkan good governance juga harus bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Dengan memulai perubahan pada bidang yang secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan para pelaku pasar, upaya menerapkan good governance akan memperoleh dukungan dari semua pemangku kepentingan. Citra masyarakat mengenai kredibilitas pemerintah juga dapat membaik. Dukungan ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan, karena upaya menerapkan good governance membutuhkan stamina dan daya tahan yang kuat. Perlu roadmap agaimana kita melakukan perbaikan tersebut? Pertama, harus disusun roadmap permasalahan governance dan rekomendasi strategis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kedua, perlu disepakati dan dimasyarakatkan pedoman pelaksanaan good governance yang berlaku secara nasional dan pendekatannya, yang kemudian perlu ditindaklanjuti dengan pedoman sektoral, seperti sektor pelayanan publik dan investasi. Ketiga, perlu dilakukan penyuluhan konsultansi dan pendampingan bagi perusahaan-perusahaan, maupun kantorkantor Pemerintah yang bermaksud mengimplementasikan good governance, dengan melakukan kegiatan assessment, kemudian membangun rambu-rambu pada masing-masing perusahaan atau instansi pemerintah. Dan kemudian, memperbanyak agen-agen peubah (agent of change) dengan mengembangkan semacam charter member kelompok Direktur dan Komisaris perusahaan, serta charter member bagi kelompok para pejabat publik. Mari kita bangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik, di mana kejayaan bukan hanya kebanggaan masa lalu.
Sumber ( Bapenas, Harian Sinar Pembaharuan )

Tidak ada komentar: